Pringsewu| Tidak ada yang namanya wartawan abal-abal. Namun fakta yang terjadi di lapangan adalah munculnya oknum “wartawan” atau oknum mengatasnamakan wartawan.
Bila merujuk pada UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers, disebutkan bahwa wartawan adalah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik (mencari, mendapatkan, mendokumentasikan dan membuat laporan berita, red) secara berturut-turut dalam rentang waktu 6 bulan.
Dalam UU tersebut tidak pernah disebutkan adanya definisi dari wartawan abal-abal apalagi ciri-cirinya, sebagaimana yang seringkali ditafsirkan secara “sempit”.
Sejatinya profesi sebagai jurnalis atau wartawan merupakan profesi yang mulia, layaknya guru dan dokter.
Namun sayangnya, tidak sedikit yang memiliki anggapan kalau wartawan itu merupakan sebuah pekerjaan dan bukan profesi, hingganya mereka tidak bisa menjalankan profesinya dengan baik sesuai dengan kode etik yang ada (KEJ).
Kemerdekaan pers juga patut terus kita kembangkan dalam koridor kehidupan berdemokrasi. Sebab, setiap warga negara memiliki hak untuk tahu (right to know), yang merupakan salah satu dari bentuk hak asasi yang diakui oleh dunia dan diperingati di setiap tahunnya, termasuk di Indonesia.
Disisi lain, dengan profesi sebagai jurnalis maka menjadi hak setiap jurnalis untuk menggali, mendapatkan, mencatat, mendokumentasikan dan untuk kemudian mempublikasikan kepada publik akan informasi dan data yang diperoleh.
Sebab, publik (masyarakat) juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi yang baik, berimbang, valid dan tidak hoaks.
Jadi, pada posisi ini, parameternya bukan terletak pada belum atau sudahkan wartawan itu UKW, atau medianya terverifikasi Dewan Pers, sehingga ia bisa menggali dan mendapatkan informasi (konfirmasi dan wawancara) demi bisa memproduksi karya jurnalistik yang berimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab, konsekuensi dari kemerdekaan pers itu sendiri menuntut adanya sebuah pertanggungjawaban moril dari publik, dan publik berhak mengkoreksi wartawan melalui mekanisme hak jawab.
Dan sebagai sebuah lembaga ekonomi, Perusahaan Pers juga harus memiliki payung hukum yang jelas, baik itu berupa PT, CV, Yayasan dan atau Koperasi yang diketahui oleh Kemenkum dan HAM.
Bila payung hukum itu bisa dipenuhi, maka perusahaan pers itu layak memproduksi koran, majalah, dan atau media siber.
Selanjutnya, sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban perusahaan pers melalui manajemen dan redaksi, maka setiap media baik itu cetak, elektronik dan juga siber, wajib mencantumkan alamat keredaksian, boks redaksi dan isi diluar tanggungjawab percetakan (khusus untuk media cetak).
Penulis : Ahmad Khattab (Ketua DPC AWPI Pringsewu